Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Satu lagi kejadian yang tidak kami sukai ketika ingin membuat STNK motor yang hilang di SAMSAT Sleman. Di berbagai sudut kantor telah tertulis dilarang membuat STNK lewat calo. Namun begitulah hal itu seakan-akan cuma tulisan belaka. Sejak kami memakirkan motor di parkiran sudah ditawarkan jasa calo. Ketika kami masuk pintu SAMSAT, juga banyak calo yang menghampiri. Lantas kami pun menunjukkan tulisan di dinding yang melarang memesan STNK lewat calo. Namun apa jawaban para calo? Mereka serentak menjawab, “Halaa mas … itu hanya tulisan saja.” Setelah kami menempuh langkah-langkah yang ada, ternyata begitu simple dan menghabiskan biaya yang amat-amat murah. Kami hanya mengeluarkan biaya 50 ribu rupiah. Beda halnya jika melewati jalur calo, bisa menghabiskan biaya hingga 300 ribu.
Kerja Calo di Lapangan
Praktiknya calo di lapangan khususnya dalam hal pengurusan STNK dan SIM, mereka menempuh jalur suap atau sogok. Dengan menyogok beberapa pegawai SIM atau STNK, akhirnya jalannya bisa mulus. Buktinya saja ketika ada yang tidak lulus dalam ujian teori atau praktik, ternyata masih bisa mendapatkan SIM. Tidak ada jalan lain selain calo tersebut menyogok. Akhirnya biaya SIM dan STNK pun menjadi mahal. Beda dengan mengurus lewat jalur resmi yang memakan biaya hanya 100 ribu atau kurang dari itu.
Memakan Hasil Suap
Allah Ta’ala berfirman,
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. Al Maidah: 42). Yang dimaksud dengan banyak memakan “سُّحْتِ” dalam ayat di atas adalah banyak memakan dari pekerjaan yang tidak halal sebagaimana dikatakan oleh Al Akhfasy. Sedangkan Ibnu Mas’ud menafsirkannya dengan suap (risywah). Jadi, menurut tafsiran terakhir menunjukkan larangan memakan hasil suap atau sogok (Lihat Zaadul Masiir, 2/360).
Yang Memberi Suap Juga Kena Dosa
Jika sudah tahu bahwa memakan hasil suap adalah suatu hal yang terlarang, sebenarnya bukan hanya orang yang makan duit suap yang terkena dosa, orang yang memberinya pun demikian. Begitu pula dengan orang yang menjadi perantara dalam masalah suap juga terkena dosa.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih). Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat Ar Ra-isy (الرَّائِشَ) yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits ini lemah namun maknanya benar. Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama). Jadi terlarang, meminta suap, memberi suap, menerima suap dan menjadi penghubung antara penyaup dan yang disuap.
Sogok atau dalam bahasa arab disebut risywah berbeda dengan hibah (hadiah). Keduanya memang sama-sama memberikan manfaat pada orang lain. Namun secara lahiriyah dalam hibah tidak mengharap adanya imbalan, sedangkan dalam risywah mengharap adanya imbalan yaitu diperlancar dalam suatu urusan. Satu sisi terlihat mirip, namun ternyata berbeda (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 22/221).
Jika Terpaksa Harus Memberi Suap
Jika kita dizholimi sehingga tidak bisa mendapatkan SIM atau STNK melainkan lewat jalan sogok karena demikianlah aturan yang berlaku, maka uang sogok itu haram bagi yang menerima, tidak bagi yang memberi. Demikianlah pendapat mayoritas ulama (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 22/222).
Namun jika hak yang ingin diloloskan hanyalah sedikit, maka tidak boleh menempuh jalan suap. Karena melakukan hal yang jelas Allah larang, sama sekali tidak boleh walaupun jumlahnya sedikit. Jadi suap barulah dibolehkan jika terpaksa karena ingin mendapatkan hak kita.
Ada kisah dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau pernah memberi suap ketika berada di Habasyah supaya jalan beliau dipermudah. Beliau memberi suap dengan dua dinar. Lantas Ibnu Mas’ud berkata, “Dosa tersebut bagi yang menerima, bukan bagi yang memberi.”
‘Atho’ dan Al Hasan berkata, “Tidak mengapa jika seseorang mempekerjakan orang lain untuk kepentingan dirinya dan hartanya karena takut dizholimi.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 22/222).
Akan tetapi, di berbagai kepolisian masih enggan menerima suap sebagaimana yang kami rasakan sendiri di kepolisian Wonosari Gunung Kidul dan ini berbeda jauh dengan kepolisian Sleman. Saran kami, jika memang masih bisa ditempuh dengan jalan “free sogok”, maka itu yang lebih selamat.
Menempuh Jalan Halal Lebih Tenang
Asalnya menempuh jalan yang halal, tentu lebih menyenangkan dan lebih mendatangkan ketenangan. Apalagi Allah berjanji bila kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia akan memberi ganti dengan yang lebih baik. Dalam hadits disebutkan,
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5/363, sanad hadits ini shohih)
Nasehat kami, teruslah menempuh jalan yang halal dan bebas suap sehingga kita pun tidak terkena murka Allah.
Disusun selepas Ashar di Panggang-Gunung Kidul, 8 Syawal 1432 H (07/09/2011)
www.rumaysho.com
Baca Juga: Meninggalkan Suap-Menyuap, Pintu Rizki Jadi Terbuka